Hilary’s Blog

July 26, 2007

The History of Oedipus Complex

Filed under: psikodinamika — Hilary @ 6:26 am

oedipus.jpg

Oedipus was a son of Laius, king of Thebes, and Jacasta, his wife. The King learned from an oracle that he was fated to be killed by his son. When a boy was born, the King gave him to a shepherd to leave him on Mt. Kithaeron to die.

However, the compassionate sheppherd gave the infant to the childless king of Corinth, Polybus. When Oedipus reached the age of puberty and an oracle told him that he would kill his father and form an incestuous union with his mother, he decided not to return to Corinth to his alleged father.

In his journey he met Laius, whom he slew in a quarrel. When Oedipus arrived at Thebes the Sphinx presented a riddle for solution. Oedipus solved the riddle and the Theban in gratitude gave him Jacasta as wife.

When finally he discovered the relationship between him and his wife, he blinded himself, while Jacasta hanged herself. Oedipus wandered away, accompanied by his daughter, Antigone. Finally he was destroyed by the avenging deities, the Eumenides.

Book: Three Contributions to the Theory of Sex by Sigmund Freud.

3 Comments »

  1. Saya kira teori Freud tentang Oedipus Complex di sini kurang tepat. Si anak sama sekali tidak mengenal ibunya saat mengawininya, juga tidak mengetahui bahwa yang dibunuhnya adalah bapaknya. Disimpulkan bahwa si anak tidak melalui stadium kehidupan masa kanaknya bersama si ibu asli, melainkan bersama ibu dan bapak angkatnya. Menurut Teori Jung bahwa ketidaksadaran kolektiflah yang menghendaki inses untuk mendorong Oedipus untuk melaksanakan tindakan mengawini ibu da membunuh bapaknya.

    Comment by Budi — October 29, 2007 @ 2:00 pm | Reply

  2. Kisah Oedipus ini ada kemiripan dengan kisah Sangkuriang. Di sini, si anak membunuh bapaknya karena dia tidak mengetahui bahwa binatang tersebut adalah penjelmaan bapaknya. Penampilan si bapak sebagai binatang mungkin dapat disebut sebagai totem, karena binatang tersebut merupakan penyulih bapak. Kemudian Sangkuriang diusir ibunya dan mengembara. Dengan demikian pada cerita ini Sangkuriang si anak bukan hanya dilahirkan oleh dayang Sumbi, melainkan saat kecil dipelihara dan diasuh sendiri oleh ibunya tersebut. Jadi tidak seperti Oedipus, dia mengalami keempat stadium dalam perkembangan kepribadiannya bersama dengan ibunya.

    Setelah mengembara bertahun-tahun Sangkuriang kembali namun tidak mengenali ibunya bahkan ingin mengawininya. Pada akhir cerita, iscest tidak terjadi karena para Dewa melindungi dayang Sumbi. Sangkuriang tidak berhasil melaksanakan permintaan dayang Sumbi untuk membuat telaga dan perahunya karena keburu datangnya pagi hari.

    Comment by Anastasia — October 29, 2007 @ 2:43 pm | Reply

  3. Cerita lain yang mempunyai kemiripan adalah Lutung Kasarung. Guru Minda adalah putera Sunan Ambu, Dewi yang mempunyai kekuasaan tinggi di jagad raya. Sunan Ambu ini juga mempunyai paras yang sangat cantik, sehingga suatu malam sang putera bermimpi mengawini ibunya tersebut (menurut Freud mimpi adalah hal-hal yang direpresi yang mencari jalan keluar). Pada akhirnya sang putera tercinta dihukum dengan jalan mengeluarkannya dari kahyangan, tempat para dewa. Dalam cerita ini tidak dijumpai tokoh bapak sama sekali sehingga Guru Minda terbebas dari permusuhan dengan bapaknya.

    Sebelum menghukum anaknya turun ke bumi, Sunan Ambu menciptakan seorang puteri yang mirip dengan dirinya yang juga diturunkan di bumi. Akhirnya kedunya bertemu walaupun wajah guru Minda berwajah lutung (hukuman dari sang ibu) dan puteri dengan wajah coreng-moreng (hukuman dari sang kakak). Namun akhrnya wajah mereka kembali normal dan merekapun menikah.

    Comment by Santy — October 29, 2007 @ 2:56 pm | Reply


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.